Selasa, 14 Desember 2010


EXIS SPECIAL EDITION
(The Most Special from SALAM on 2010)
Tanggal 13 november kemarin merupakan salah satu hari bersejarah di kalender divisi SALAM di bawah naungan DEPROH, ESA. Betapa tidak, pada bari tersebut divisi SALAM telah berhasil mengadakan acara EXIS Special Adition yang bertajuk "IDUL ADHA DAN PENGORBANAN: BELAJAR IKHLAS DARI IBRAHIM A.S". selain untuk menunaikan salah satu program kerja SALAM menjelang akhir masa jabatan 2010, acara ini juga bertujuan untuk menjadi salah satu sarana dakwah jurusan dan juga memperkenalkan salah satu acara di bawah naungan DEPROH, ESA kepada para mahasiswa baru. oleh karena, acara ini lebih dikhususkan untuk diikuti oleh mahasiswa angkatan 2010 karena acara ini diadakan sekaligus untuk mengganti ketidak hadiran mereka di acara tutorial pada saat mengikuti PAB. Rangkaian acara dalam acara exis special edition ini yang berkesempatan untuk menjadi pembicara adalah Bpk. Pandu Hyangsewu, S.Th. I yang merupakan salah satu dosen UPI. setelah sesi penyampaian materi berakhir, para peserta dipersilakan untuk mengutarakan beberapa pertanyaan dan bagi peserta yang berani bertanya diberi doorprize dari panitia. acra ini berakhir pada pukul 14.45, yang dilanjutkan dengan mentoring sebagaimana yang biasa dilakukan pada saat kegiatan tutorial. Akhir kata kami uacapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah membantu untuk melancarkan acara ini dan tentu saja kepada para adik kelas kami tercinta yang telah damenghadiri acara ini. semoga ilmu yang kita dapatkan dari acara ini menjadi berkah dan pencerah di kehidupan kita sekarang dan di masa yang akan datang. AMIN


Bersabarlah Atas Beban Dakwah

Oleh Muhadi

Mengapa mereka menempel di baju penguasa? Mereka memuja-muji panguasa? Tidak ada lagi nahyu munkar yang mereka tegakkan. Mereka menjadi kelompok atau golongan yang menyanyikan : “Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang”.

Mereka memasuki semua relung kehidupan. Tidak ada lagi pembatas (hijab) atas diri mereka. Tidak ada lagi kata, ‘la’ (tidak), dan yang ada hanya ‘nikmati dan boleh’. Sehingga, kehidupan mereka bercampur dengan kebathilan.

Semua dalil mereka gunakan. Tujuannya hanya untuk membenarkan apa yang hendak mereka inginkan. Kata ‘ijtihad’ menjadi resep mujarab, dan semuanya mengangguk. Tidak ada yang menyangkal. Semuanya mengamininya. Tanda setuju dengan segala ‘ijtihad’ yang mereka lakukan. Terkadang saking fanatiknya dengan ‘ijtihad’ yang disuguhkan itu, tentu yang berada dalam barisan kumpulan dan golongan itu, yang sudah tersihir dengan kehidupan dunia, tak bakal menerima pendapat dari yang lainnya.

Al-Qur’an dan As-Sunnah tak lagi menjadi ukuran dan pembeda. Barangkali Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi tak lagi penting bagi kehidupan mereka. Karena tuntutan sekarang berbeda. Harus ada rumus dan ijtihad baru yang lebih sesuai dengan kehidupan dan perkembangan zaman. Tidak harus kaku dan fanatik dengan prinsip-prinsip yang bersumber dari wahyu Ilahi. Semua prinsip dapat ditukar dan diganti, sesuai dengan perkembangan zaman. Semua prinsip dalam Al-Qur'an dan As-Sunah menjadi 'mutaghoyyirrot' (dapat berubah).

Rumus baru dalam kehidupan modern sekarang, tak lain, sebuah kepentingan. Prinsip-prinsip dapat diubah dan disesuaikan dengan kepentingan. Bila nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertabrakan dengan kepentingan yang lebih besar, harus dikalahkan nilai-nilai dan prinsip dari Al-Qur’an dan As-Sunnah itu. Tidak perlu takut. Tidak perlu kawatir. Karena yang dikejar adalah sebuah kepentingan yang lebih besar. Kekuasaan. Tidak bisa Al-Qur’an dan As-Sunnah itu dipaksakan. Apalagi dalam sebuah negara yang masyarakatnya majemuk (pluralis), maka harus ada rumus baru, khususnya dalam bermuamalah yang lebih terbuka alias inklusif. Sehingga, golongan diluar Islam dapat menerimanya.

Tidak mungkin menerapkan prinsip sabar. Sabar dalam mengamalkan isi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, terlalu lama dan panjang. Sedangkan umur ini sangatlah terbatas. Target-target dan capaian dunia harus diwujudkan. Diujung perjalanan ini harus ini harus ada, kisah tentang, ‘the success story’, yang akan menjadi ‘ther corner stone’ bagi generasi berikutnya. Kebanggaan sebagai sebuah maha karya, yang dituntaskan seumurnya.

Karena itu, langkah-langkah ekselarasi yang harus dilakukan, betapa itu terasa menjadi naif dan tidak logis. Semuanya harus berjalan, sesuai dengan skenario. Tidak penting banyak yang tidak setuju. Tetapi semuanya harus berjalan, dan yang penting segala target dan keinginan dapat terwujud. Inilah sebuah kenikmatan yang tanpa batas, saat mereka menikmati pujian dan sanjungan yang tak henti-henti dari para pengikutnya dan orang-orang yang terdekatnya.

Kilauan harta, kekuasaan, jabatan, kekuatan, wibawa, dan sanjungan, serta tabiat mereka yang ingin selalu dekat dengan penguasa itu, ternyata sudah menjadi karakter di awalnya.

Itulah mengapa Islam hari ini tidak memiliki izzah (kemuliaan) dihadapan manusia dan Allah Azza Wa Jalla. Karena para du’atnya diantaranya banyak yang tidak lagi komitment terhadap Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya. Mereka menjadi hamba-hamba dunia. Mereka menuhankan dan beribadah kepada yang memberi materi, jabatan, kekuasaan, dan bahkan ada diantara mereka yang menukar Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan harga yang murah. Mereka lupa dan melupakan atas arahan dan perintah-Nya.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut”, kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah ada pula yang tetap dalam kesesatan”. (QS : An-Nahl : 36)

Karakter seorang du’at, yang digambarkan oleh Al-Qur’an, hanyalah mengajak manusia untuk semata-mata menyembah kepada Allah, dan menjauhkan segala hal yang melampui batas dan dilarang oleh Allah (thogut), dan ini harus menjadi misi kehidupannya.

Tetapi, kenyataannya hari ini, sangatlah berbeda dengan seperti yang diinginkan oleh Allah Ta’ala, yang hakekatnya, ketika mengutus para Rasul, tak lain hanyalah untuk mengajak menyembah kepada Allah Azza Wa Jalla semata, bukan menyekutukan Allah dengan melakukan sesembahan terhadap ‘ilah-ilah’ lainnya. Pembalikan yang sekarang terjadi tak lain, karena mereka sudah kehilangan sikap tsabat (teguh), dan shabar terhadap keyakinan yang mereka miliki.

Shahabat Ali bin Abi Thalib RA, menyatakan sikap shabar itu, seperti pedang yang tidak pernah tumpul, dan seperti cahaya yang tidak pernah redup.

Dengan hilangnya sikap shabar para du’at yang hanya mengejar kehidupan dunia itu, maka mereka menjadi tumpul hati nuraninya, dan wajah mereka tidak lagi memancarkan cahaya iman, karena sudah terbalut dengan hitam pekatnya dunia.

وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

".. Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam pertempuran. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". (QS : Al-Baqarah : 177)

Allah Azza Wa Jalla menuntut para du'at untuk tetap bershabar dan membela dan menegakkan agama Allah, dan tidak kemudian menanggalkan keyakinan dan komitmentnya terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan lari dari komitmentnya terhadap Islam, hanya demi kenikmatan dunia. Wallahu’alam)*

)*diambil dari eramuslim.com



URGENSI PENCIPTAAN SUASANA RELIGIUS


Upaya mendekatkan diri kepada Tuhan senantiasa dapat mendorong kita selain menjadi manusia yang cerdas tapi juga bertakwa. Namun, seiring kemajuan zaman yang juga mendorong upaya berfikir manusia yang menjadi terkotak-kotak yang akhirnya mendorong mereka menjadi makhluk sekuler. Hal ini tentu saja bila dibiarkan akan berdampak negative karena sesungguhnya kesuksesan selalu datang bersama upaya dan juga doa. Oleh karena itu, agar upaya sekulerisme ini dapat diminimalisir, harus ada upaya yang harus mendorong setiap insan selalu mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaannya.

Kebanyakan manusia bertindak berdasarkan suasana mereka saat itu. Jika suasananya akademik, merekapun akan kritis dsb. Begitupula dengan suasana yang agamis, manusia dalam sisi kehidupannya akan melakukan ibadah sesuai agama yang dipeluknya, baik yang tampak mata seperti shalat maupun tidak tampak. Karenanya, suasana agamis/religius harus selalu dihidupkan dalam suasana-suasana lainnya agar kebutuhan dunia dan akhirat dapat bergandengan tangan dijalani.

Urgensi penciptaan suasana religious dapat dilahirkan dalam berbagai cara. Seperti Muhaimin, Su’tiah dan Nur Ali (1998) dari malang berkelakar bahwa upaya ini dapat diciptakan dengan berbagai cara dan pendekatan. Pertama, yaitu melalui pendekatan personal yang dilakukan dengan cara selalu memberikan ucapan selamat disertai nasihat-nasihat serta doa. Kedua, yaitu dengan memberikan kajian keagamaan yang dilaksanakan melalui kerjasama dan kterlibatan langsung kedua pihak , contohnya antara pihak sekolah dan siswa melalui pesantren kilat . Menurut Ahmad Tafsir (1991), pakar pendidikan Islam dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, paling tidak ada tiga motivasi sekaligus tujuan diadakannya pesantren kilat di sekolah-sekolah umum.
Pertama, agar anak memiliki akhlak yang baik. Motif ini muncul dari rasa khawatir orang tua akan kenakalan remaja. Sebab, dengan kenakalan anaknya tentu akan mempengaruhi martabat dan kredibilitas orang tua di masyarakat. Kedua, motif mengisi waktu, motif ini muncul karena orang tua merasa bahwa waktu luang seorang remaja adalah sangat berbahaya bila tidak diisi dengan kegiatan yang positif. Dengan kegiatan pesantren kilat inilah maka anak dapat menggunakan waktu luangnya dengan kegiatan positif yang bermanfaat.
Ketiga, motif menutupi kekurangan waktu pendidikan agama di sekolah. Motif ini muncul karena orang tua merasa bahwa pendidikan agama yang diperolah di sekolah masih sangat kurang sehingga membutuhkan waktu tambahan melalui kegiatan agama di luar kurikulum.

Kamis, 29 April 2010

Aktualisasi Diri, Apa Sih?


JAKARTA, KOMPAS.com - Manusia memiliki tingkatan kebutuhan dalam hidupnya. Bila dalam kondisi normal orang masih didominasi oleh kebutuhan akan gengsi atau kebutuhan lain di bawahnya, ia tidak berbeda dengan monyet.

Di dalam lingkungan sosial, kita dapat menemukan berbagai karakteristik individu. Ada orang yang terobsesi mengumpulkan uang, properti, atau mengejar jaminan perlindungan dan rasa aman sedemikian rupa. Sementara orang lain santai-santai saja dalam hal itu. Ada yang sibuk mencari simpati dan ketenaran, ada yang low profile, lemah lembut dan penuh penerimaan terhadap orang lain. Ada yang aktif menyalurkan hobi, ada pula yang gelisah karena tidak dapat mengembangkan diri secara maksimal.

Variasi karakteristik individu seperti di atas mencerminkan variasi kebutuhan yang mendominasi seseorang. Hal itu mengingatkan kita pada teori hierarki kebutuhan dari Maslow.

Secara garis besar teori dari tokoh psikologi humanistik ini menggambarkan lima tingkat (hierarki) kebutuhan, dari yang terendah hingga tertinggi: fisiologis, rasa aman, cinta dan rasa memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri. Bila kebutuhan dari tingkat yang lebih rendah terpenuhi, secara otomatis individu didorong oleh kebutuhan yang setingkat lebih tinggi.

Teori tersebut sangat populer di kalangan psikologi maupun manajemen. Namun, umumnya kita hanya mengingat secara garis besar. Berikut ini disajikan teori Maslow secara lebih lengkap untuk membantu kita memahami perilaku orang-orang di sekitar kita, khususnya memahami diri sendiri, dari sisi motivasi.

Karya Maslow
Diawali dengan keberatannya atas teori kepribadian dari Sigmund Freud (yang dikembangkan berdasarkan penelitian terhadap individu yang mengalami masalah kejiwaan), Maslow mencoba menemukan ciri-ciri kepribadian sehat pada individu-individu yang menurutnya merupakan wakil-wakil terbaik dari spesies manusia.

Maslow meneliti kepribadian 46 orang, baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup. Di antara subjek penelitiannya adalah Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Albert Einstein, Eleanor Roosevelt, Goethe. Dari kalangan psikologi, yang diteliti Max Wertheimer dan Ruth Benedict.

Untuk mereka yang masih hidup, pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, asosiasi bebas, dan tes proyektif. Untuk yang sudah meninggal, Maslow menggunakan teknik analisis biografi dan otobiografi.

Sebagai hasilnya, Maslow menyimpulkan bahwa semua manusia dilahirkan dengan kebutuhan instingtif yang mendorong untuk bertumbuh dan berkembang, untuk mengaktualisasi diri, mengembangkan potensi yang ada sejauh mungkin. Potensi untuk pertumbuhan dan kesehatan psikologis itu diaktualisasi (diwujudkan) atau tidak, tergantung pada kekuatan individual dan sosial yang memajukan atau menghambat.

Pada umumnya manusia memiliki potensi lebih banyak daripada apa yang dapat dicapai. Tidak banyak orang yang mencapai aktualisasi diri. Namun, Maslow tetap optimis tentang kemungkinan bahwa jumlah orang yang mencapai keadaan ideal ini dapat semakin banyak. Prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri adalah dengan memuaskan empat kebutuhan yang lebih rendah.

Hierarki Kebutuhan
Konsep hierarki kebutuhan Maslow mengasumsikan bahwa tingkat kebutuhan yang lebih rendah dipuaskan atau relatif terpuaskan sebelum kebutuhan lebih tinggi menjadi motivator. Jadi, kebutuhan lebih rendah merupakan prepotensi bagi kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, sehingga harus dipuaskan terlebih dahulu.

Orang yang termotivasi oleh kebutuhan harga diri atau aktualisasi diri pasti telah terpuaskan kebutuhannya akan makanan, rasa aman, dan kasih sayang.

1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan ini meliputi makanan, air, oksigen, suhu tubuh teratur, dan sebagainya. Yang sangat penting untuk kelangsungan hidup, sehingga paling kuat di antara kebutuhan lainnya. Inilah satu-satunya kebutuhan yang dapat dipuaskan sedemikian rupa, sehingga seseorang dapat sangat puas, meski kebutuhan ini muncul berulang-ulang secara ajek.

Mereka yang kelaparan, sangat sedikit peluangnya mendapatkan makanan (karena miskin atau dalam keadaan tidak makan berhari-hari) akan didominasi kebutuhan ini dan tidak sempat memikirkan kebutuhan lainnya. Pada orang berkecukupan, yang mereka pikirkan bukan sekadar adanya makan, melainkan soal selera. Bila yang kesulitan mendapatkan makanan bertanya, “Hari ini bisa makan atau tidak”, yang berkecukupan, “Mau makan apa sekarang?”

2. Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan ini meliputi keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, bebas dari ancaman (sakit, ketakutan, kecemasan, bahaya, dan keadaan chaos). Selain itu juga kebutuhan akan hukum, keteraturan, dan struktur. Berbeda dengan kebutuhan fisiologis, kebutuhan ini tidak dapat terlalu dipuaskan: tidak ada orang merasa sangat aman.

Dalam situasi ketidakpastian, misalnya dalam situasi chaos saat kondisi politik memanas, saat ada isu tsunami, dsb, kita berusaha sebanyak mungkin memiliki jaminan, perlindungan, dan ketertiban. Pada anak-anak, kebutuhan rasa aman ini sangat tinggi karena mereka dapat merasa terancam oleh berbagai situasi lingkungan: ruang gelap, binatang, hukuman dari orangtua dan guru, dsb.

Orang dewasa yang neurotik juga relatif tinggi kebutuhannya akan rasa aman. Hal ini disebabkan ketakutan irasional yang dialaminya akibat rasa tidak aman yang dibawa sejak masa kecil. Ia sering mengalami perasaan dan bertindak seperti ketika ia mendapatkan situasi mengancam ketika masa kecil. Mereka menguras energi lebih banyak daripada orang lain yang berkepribadian sehat untuk melindungi dirinya. Hal ini dapat muncul dalam berbagai gejala.

Mereka yang sering terancam hukuman orangtua di masa kecil, lebih sering berusaha mencari rasa aman dengan berbohong, melakukan segala sesuatu dengan keteraturan yang berlebihan untuk menghindari celaan. Mereka yang saat kecil merasa terhina karena kemiskinan, terpacu berlebihan untuk mengumpulkan uang atau properti sebanyak-banyaknya. Bila usahanya kurang berhasil, mereka menderita kecemasan neurotik yang oleh Maslow disebut basic anxiety.

Pada orang berkepribadian sehat, yang berhasil mengatasi kecemasan masa kecil, kebutuhan rasa aman akan menguat dalam situasi khusus, seperti ketika terjadi bencana, sakit, perang, dsb. Dalam situasi yang mengancam seperti itu kebutuhan lain yang tingkatnya lebih tinggi kurang dirasakan

3. Kebutuhan Akan Cinta dan Rasa Memiliki
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan persahabatan, memiliki pasangan dan anak, keanggotaan dalam keluarga, keanggotaan dalam kelompok tertentu, bertetangga, kewarganegaraan, dsb. Termasuk di dalamnya adalah kebutuhan akan aspek-aspek seksual dan kontak manusiawi sebagai wujud kebutuhan untuk saling memberi dan menerima cinta.

Mereka yang tidak pernah merasakan cinta, yang tak pernah mendapat ciuman atau pelukan, dalam jangka panjang tidak akan dapat mengekspresikan cinta. Mereka cenderung mendevaluasi cinta, menganggapnya tidak penting.

Mereka yang hanya sedikit mendapatkan cinta, dapat menjadi sangat sensitif terhadap penolakan dari orang lain. Mereka memiliki kebutuhan afeksi yang tinggi: berusaha mengejar cinta dan rasa memiliki melalui berbagai cara.

Di sisi lain, mereka yang terpuaskan kebutuhan cintanya menjadi lebih percaya diri. Bila mengalami penolakan oleh seseorang, ia tidak menjadi panik, yakin bahwa ia mendapatkannya dari orang yang penting bagi dirinya.

4. Kebutuhan Akan Penghargaan
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan penghargaan terhadap diri, keyakinan, kompetensi, dan pengetahuan bahwa orang lain mendukung dengan penghargaan yang tinggi. Menurut Maslow, kebutuhan akan penghargaan ini terdiri dari dua tingkatan: reputasi dan harga diri (self-esteem).

Reputasi adalah persepsi mengenai gengsi (prestige) atau pengakuan dari orang lain, sedangkan harga diri adalah perasaan seseorang bahwa dirinya berharga. Harga diri memiliki dasar yang berbeda dari gengsi; merefleksikan kebutuhan akan kekuatan untuk berprestasi, adekuat, penguasaan dan kompetensi bidang tertentu, yakin dalam menghadapi dunia sekelilingnya, serta kemandirian dan kebebasan. Dengan kata lain, harga diri bersandar pada kompetensi nyata, bukan sekadar pandangan orang lain.

Ada sebuah canda sehubungan dengan kebutuhan sampai tahap ini: manusia dibedakan dengan monyet dalam kebutuhan penghargaan ini. Monyet memiliki kebutuhan sama dengan manusia hingga tingkat tiga setengah, yakni kebutuhan akan gengsi. Namun, monyet tidak mungkin memiliki kebutuhan di atas level tiga setengah (kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri). Jadi, bila dalam kondisi normal seseorang masih dikejar oleh kebutuhan akan gengsi atau kebutuhan lain di bawahnya, ia tidak berbeda dengan monyet.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan ini mencakup pemenuhan diri (self-fulfillment), realisasi seluruh potensi, dan kebutuhan untuk menjadi kreatif. Mereka yang telah mencapai level aktualisasi diri menjadi lebih manusiawi, lebih asli dalam mengekspresikan diri, tidak terpengaruh oleh budaya.

Agak berbeda dengan perkembangan kebutuhan lain, bila kebutuhan penghargaan ini terpenuhi, tidak secara otomatis kebutuhan meningkat ke aktualisasi diri. Maslow menemukan bahwa mereka yang lepas dari kebutuhan penghargaan dan mencapai kebutuhan aktualisasi diri adalah yang memberikan penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai kebenaran, keindahan, keadilan, dan nilai-nilai sejenis yang oleh Maslow disebut sebagai B-values. @

Search in the Quran
Search:
Download | Free Code
www.SearchTruth.com